Penafsiran Historis
Penafsiran
historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada sejarah
dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran
historis yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen – dokumen
rapat pada waktu dibuatnya UU. Misalnya, dokumen rapat para pembuat UU, dokumen
rapat pembahasan antara pemerintah dengan DPR, dan dokumen surat – surat
lainnya yang dibuat secara resmi, baik oleh pemerintah maupun pemerintah dengan
DPR. Dengan menggunakan penafsiran historis dapat diketahui maksud dari pembuat
UU atas isi dari suatu UU.
4.2 Penafsiran Sosiologis
Penafsiran
sosiologis adalah penafsiran
atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan
dan dinamika kehidupan masyarakat. Seperti diketahui
bahwa kehidupan suatu masyarakat selalu berkembang (bersifat dinamis) sedangkan
UU yang bentuknya tertulis tidak bisa selalu mengikuti kehidupan masyarakat
yang selalu lebih cepat perkembangannya. Oleh karena itu, perlu adanya
penyesuaian antara UU yang sifatnya tertulis dengan perkembangan (perubahan)
kehidupan suatu masyarakat.
4.3 Penafsiran Sistematik
Penafsiran
sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang
lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya dengan pasal-pasal
undang-undang yang lain. Karena suatu UU terdiri dari atas
pasal – pasal, maka ketentuan atas suatu pasal yang tidak jelas dapat diketahui
dengan melihat / mengaitkannya dengan arti atau maksud dari pasal – pasal
lainnya atas suatu UU yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem yang saling
berhubungan.
4.4 Penafsiran Otentik
Penafsiran
otentik adalah
penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan melihat pada apa
yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Biasanya
dalam suatu UU terdapat sebuah pasal mengenai ketentuan umum yang isinya
menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum
demikian sering disebut dengan terminologi untuk menjelaskan hal – hal yang
dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksud dengan penafsiran otentik.
4.5 Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran
tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara
keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama
lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Dari
semua penafsiran yang ada, penafsiran menurut tata bahasa merupakan penafsiran
yang paling penting dibandingkan dengan penafsiran – penafsiran lainnya, sebab
apabila kata – kata dalam kalimat suatu pasal dalam UU telah jelas maksudnya,
maka tidak boleh lagi dipergunakan cara – cara penafsiran lainnya.
4.6 Penafsiran Analogis
Dalam
pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman hukum.
Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau
penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan
pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang.
Penafsiran analogis
ini tidak boleh dipakai dalam UU Pajak karena dapat merupakan Wajib Pajak (WP)
dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Aturan umum
yang tidak ditulis dalam UU Pajak (sebagai aturan yang bersifat khusus) menjadi
berlaku, padahal pasal 23 ayat (2) UUD 1945menegaskan bahwa segala pemungutan
pajak harus berdasarkan UU (tentunya UU Pajak yang bersifat khusus).
4.7 Penafsiran Acontrario
Penafsiran
A Contrario adalah
penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam
pasal undang. Berdasarkan perlawanan pengertian
tersebut, ditarik suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tidak diatur dalam
pasal undang – undangnya atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di
luar ketentuan pasal suatu UU.
4.8 Macam-macam ketetapan pajak
Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan (KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak Wajib Pajak
(WP) adalah berupa surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :
a) Surat Tagihan Pajak (STP)
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
c) Surat KEtetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
d) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
e) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
f) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
a. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat
Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melekukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak
diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 KUP. Surat tagihan Pajak
diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar.
2. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.
3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi
berupa denda dan atau bunga.
4. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang PPn dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
5. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak.
6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau
tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
Penerbitan surat tagihan pajak ditambrah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% seblan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya surat tagihan pajak.
b. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi admnistrasi, dan jumlah pajak yang msih harus
dibayar. SKPKB diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang dapat diterbitkan
dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat tertangnya pajak, berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak
disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.
3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPn dan
PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tariff 0%.
4. Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban
pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda
maupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% ebulan akan
dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajibpajak
tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.
c. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan
atas jumlah ajak ang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT diatur dalam pasal
13 undang-undang KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang
terjadi seperti :
1. Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih
rendah dripada perhitungan yang sebenarnya.
2. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan
dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.
3. Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak
nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.
Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data
yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang
terutang.
d. Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalm Pasal 17
Undang-undang KUP yang telah diterbitkan untuk hal-hal sbb:
1. Untuk Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih
besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembeyaran pajak
yang seharusnya tidak terutang.
2. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Jumlah kredit
pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
3. Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),
jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. SKPLB akan
diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak.
e. Surat
Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam Pasal 17A Undang-undang KUP dalam
hal sbb:
1. Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang
terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2. Untuk PPn, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah
pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
3. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.
f. Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak
yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT
merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas pajak bumi dan Bangunan yang
harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT
diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) ang trlah
disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada
di Kantor Pelayanan PBB.
4.9 Daluwarsa Penetapan
Daluwarsa
penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak. Penentuan masa 10 (sepuluh) tahun ini sesuai dengan ketentuan daluwarsa
penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar
pembukuan dan pencatatan Wajib Pajak.
Daluwarsa penetapan merupakan suatubatasan waktu yang ditentukan
undang-undang untuk dapat menerbitkan suratketetapan pajak atas utang pajak
WP,yang tujuannya tidak lain agar WPmemperoleh kepastian hukum atas
utangpajaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar