Selasa, 10 Juni 2014

Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran historis yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen – dokumen rapat pada waktu dibuatnya UU. Misalnya, dokumen rapat para pembuat UU, dokumen rapat pembahasan antara pemerintah dengan DPR, dan dokumen surat – surat lainnya yang dibuat secara resmi, baik oleh pemerintah maupun pemerintah dengan DPR. Dengan menggunakan penafsiran historis dapat diketahui maksud dari pembuat UU atas isi dari suatu UU.
4.2 Penafsiran Sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat. Seperti diketahui bahwa kehidupan suatu masyarakat selalu berkembang (bersifat dinamis) sedangkan UU yang bentuknya tertulis tidak bisa selalu mengikuti kehidupan masyarakat yang selalu lebih cepat perkembangannya. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian antara UU yang sifatnya tertulis dengan perkembangan (perubahan) kehidupan suatu masyarakat.
4.3 Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Karena suatu UU terdiri dari atas pasal – pasal, maka ketentuan atas suatu pasal yang tidak jelas dapat diketahui dengan melihat / mengaitkannya dengan arti atau maksud dari pasal – pasal lainnya atas suatu UU yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem yang saling berhubungan.
4.4 Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Biasanya dalam suatu UU terdapat sebuah pasal mengenai ketentuan umum yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk menjelaskan hal – hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksud dengan penafsiran otentik.
4.5 Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Dari semua penafsiran yang ada, penafsiran menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting dibandingkan dengan penafsiran – penafsiran lainnya, sebab apabila kata – kata dalam kalimat suatu pasal dalam UU telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi dipergunakan cara – cara penafsiran lainnya.
4.6 Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang.
Penafsiran analogis ini tidak boleh dipakai dalam UU Pajak karena dapat merupakan Wajib Pajak (WP) dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam UU Pajak (sebagai aturan yang bersifat khusus) menjadi berlaku, padahal pasal 23 ayat (2) UUD 1945menegaskan bahwa segala pemungutan pajak harus berdasarkan UU (tentunya UU Pajak yang bersifat khusus).
4.7 Penafsiran Acontrario
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam pasal undang. Berdasarkan perlawanan pengertian tersebut, ditarik suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tidak diatur dalam pasal undang – undangnya atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal suatu UU.
4.8 Macam-macam ketetapan pajak
Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak Wajib Pajak (WP) adalah berupa surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :
a)      Surat Tagihan Pajak (STP)
b)      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
c)      Surat KEtetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
d)      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
e)      Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
f)       Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Penjelasan masing-masing surat ketetapan pajak tersebut di atas seperti di bawah ini.

a.         Surat Tagihan Pajak (STP)
                   Surat Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melekukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 KUP. Surat tagihan Pajak diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
2.      Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.
3.      Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
4.      Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPn dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
5.      Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak.
6.      Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.

Penerbitan surat tagihan pajak ditambrah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% seblan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.

b.         Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi admnistrasi, dan jumlah pajak yang msih harus dibayar. SKPKB diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat tertangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2.      Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.
3.      Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPn dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tariff 0%.
4.      Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
         Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda maupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda  sebesar 2% ebulan akan dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajibpajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

c.          Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
                   SKPKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah ajak ang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :
1.      Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dripada perhitungan yang sebenarnya.
2.      Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.
3.      Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.
         Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang.

d.         Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
                   SKPLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalm Pasal 17 Undang-undang KUP yang telah diterbitkan untuk hal-hal sbb:
1.      Untuk Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembeyaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
2.      Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
3.      Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak.

e.         Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam Pasal 17A Undang-undang KUP dalam hal sbb:
1.      Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2.      Untuk PPn, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
3.      Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

f.          Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
       SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas pajak bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) ang trlah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB. 

4.9 Daluwarsa Penetapan
Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Penentuan masa 10 (sepuluh) tahun ini sesuai dengan ketentuan daluwarsa penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan Wajib Pajak.

Daluwarsa penetapan merupakan suatubatasan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat menerbitkan suratketetapan pajak atas utang pajak WP,yang tujuannya tidak lain agar WPmemperoleh kepastian hukum atas utangpajaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar