Selasa, 10 Juni 2014

Subyek dan Obyek Pajak

SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
Subjek pajak adalah pihakpihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak dan yang dimaksud dengan objek pajak yaitu sesuatu yang dikenakan pajak atau dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak.
1.     SUBJEK PAJAK:
a.     Subjek Pajak dari PPh (Pajak Penghasilan)
Dalam UU PPh tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh,namun secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi subjek PPh,yaitu :
1.     Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
2.     Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya,Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau organisasi yang sejenis,lembaga dana pensiun dan bentuk badan usaha lainnya.
3.     Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirkan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.Misalnya tempat kedudukan manajemen,cabang perusahaan, kantor perwakilan,pabrik,bengkel dan gedung kantor.
Subjek PPh dibedakan antara Subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a.       Subjek pajak dalam negeri
Subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia.Subjek pajak dalam negeri terdiri dari :
1)     Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2)     Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3)     Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b.       Subjek pajak luar negeri
1)     Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2)      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
b.    Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Berdasarkan PP No. 22 Tahun 1985, PP No.28 Tahun 1988 serta PP No. 75 Tahun 1991 yang dapat disebutkan beberapa contoh yang termasuk pengusaha kena pajak sebagai subjek PPN yaitu pabrikan, importir, indentor, agen utama atau penyalur utama, pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak, pedagang besar, eksportir, pedagang eceran beras, pemborong atau kontraktor, pengusaha jasa bidang komunikasi, pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri, dan pengusaha lain yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak
c.     Subyek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai kewajiban untuk melunasi PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. Subjek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subjek PBB tersebut secara nyata mempunyai hak atas bumi dan bangunan dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB adalah mengacu pada ketentuan Undang-undang Agraria yaitu : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan. Berikut ini beberapa contoh subjek wajib pajak yang harus melunasi pajak karena status kepemilikan objek yang tidak jelas.
1.     Subjek pajak bernama A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunan milik orang lain bernama S bukan karena suatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunana tersebut akan ditetapkan sebagai wajib pajak.
2.      Suatu objek pajak ternyata masih dalam suatu sengketa kepemilikan di pengadilan maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut yang akan ditetapkan sebagai waib pajak.
3.     Subjek pajak dalam waktu lama berada diluar wilayah letak objek pajak, sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang atau badan yang diberi kuasa akan ditunjuk sebagai wajib pajak.
d.    Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pengaturan masalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak dalam BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.
e.     Subjek Bea Materai
Pengaturan masalah Bea Materai diatur dalam UU No. 13 tahun 1985. Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa Bea Materai merupakan pajak yang dikenakan terhadan suatu dokumen. Tidak semua dokumen dikenakan Bea Materai. Dokumen yang dikenakan Bea Materai hanyalah dokumen yang disebutkan dalam UU tersebut. Pihak yang menggunakan dokumen – dokumen yang disebutkan dalam UU adalah subjek dari Bea Materai tersebut. Artinya merekalah yang wajib melunasi sejumlah Bea Materai yang telah ditentukan.

2.     OBJEK PAJAK
a.     Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan yang termasuk sebagai objek pajak sesuai pasal 4 ayat (1) UU PPh yaitu ;Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima termasuk gaji, upah tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang – undang PPh, hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan, laba usaha, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, penerimaan kembali pembayaran pajak yang telh dibebankan sebagai biaya, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena penjaminan utang, dividen, royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, keuntungan karena pembebasan utang, keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, selisih lebih karena penilaian kembali aset, premi asuransi, iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya dan tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Sedangkan penghasilan yang merupakan objek Pph final termasuk dalam pasal 4 ayat (2) yaitu bunga deposito dan tabungan – tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan, penghasilan tetentu lainnya, seperti usaha migas dan lain sebagainya.
b.    Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek pajak dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak. Ada enam kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek pajak,yaitu:
1.     Penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2.   Impor barang kena pajak
3.   Penyeraan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha.
4.   Pemanfaatan BKP tidak brwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5.   Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
6.   Ekspor BKP oleh pengusaha kena pajak.
Agar penyerahan barang dan jasa yang dikenakan pajak bisa terkena PPN, atas penyerahan barang dan jasa tersebut harus memenuhi empat syarat yaitu:
1.     Yang diserahkan adalah BKP atau JKP (karena ada jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak)
2.     Dilakukan di dalam Daerah Pabean.
3.     Tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak (karena ada bentuk penyerahan yang tidak dikenakan pajak)
4.     Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sehari – hari.
c.     Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi obyek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi atau tanah dan isi yang ada di bawahnya, termasuk tanah pekarangan, sawah, empang dan perairan pedalaman (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ). Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi, tanah atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha maupun tempat yang diusahakan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ). Termasuk dalam pengertian bangunan yaitu jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut; Jalan tol; Kolam renang; Pagar mewah; Tempat olah raga; Galangan kapal, dermaga; Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak dan fasilitas lain yang memberikan manfaat (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ). Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994,menegaskan bahwa terhadap objek PBB seperti di bawah ini tidak dikenakan PBB,yaitu:
1.       Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan nasional, yang dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Contoh objek yang dikecualikan atau tidak dikenai PBB itu seperti : pesantren atau sejenisnya, sekolahan/madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah dan lain-lain
2.       Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum.
3.       Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
4.       Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak.
5.       Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
d.    Objek Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi hal – hal seperti pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Pemindahan hak terjadi karena jual beli, tukar – menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Sementara itu pemberian hak baru terjadi karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.
e.     Objek Bea Materai
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 TAHUN 2000 mengatur tentang objek dan tarif bea meterai. Pada hakekatnya objek untuk bea meterai adalah dokumen. Dalam hal ini bentuk dokumen yang menjadi objek dari bea meterai adalah sebagai berikut:
1.       Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2.        Akta-akta notaris termasuk salinannya.
3.       Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya.
4.       Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing :
-         Yang menyebutkan penerimaan uang
-         Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank
-         Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
-         Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan
5.       Surat berharga seperti wesel , promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00.
6.       Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00.
7.       Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula , yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.


DAFTAR PUSTAKA

1.     http://splashurl.com/mbkxgsh ( diakses pada tanggal 19 April 2013)
2.     http://splashurl.com/kxezca8 ( diakses pada tanggal 19 April 2013)
3.     http://splashurl.com/ke58jnp ( diakses pada tanggal 19 April 2013)
4.     http://splashurl.com/m3y2gbr ( diakses pada tanggal 19 April 2013)
5.     http://splashurl.com/mnk4aw3 ( diakses pada tanggal 19 April 2013)
6.     B. Ilyas,Wirawan dan Richard Buton. Hukum Pajak Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat, 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar