PENGERTIAN SENGKETA
PAJAK
Dalam menjalankan kegiatan usaha,
para pengusaha (Wajib Pajak) tentu diawasi oleh pemerintah (fiskus) dalam
rangka pemeriksaaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya, WP sering merasa tidak puas atas
pelaksanaan undang-undang yang dilaksanakan oleh fiskus kurang memuaskan.
Terhadap hal demikian, undang-undang perpajakan itu sendiri upaya menegaskan
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP untuk menyelesaikan sengketa pajak
yang timbul.
Sebagai produk akhir dari pemeriksaan tersebut, tentu akan
diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapn Pajak Kurang Bayar-SKPKB-
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan-SKPKBT), lebih bayar (Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar- SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak
Nihil-SKPN). Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, yang dimaksud dengan Sengketa
Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan surat
paksa.
Mengacu pada pengertian tersebut,
maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan WP adalah
keberatan, banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas
ketetapan pajak diajukan ke DIrektorat Jenderal Pajak. sementara itu, upaya
hukum banding dan gugatan diajukan ke pengadilan pajak. khusus untuk upaya
hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung.
UPAYA HUKUM
KEBERATAN
Ketika WP memperoleh suatu Surat
Ketetapan Pajak dan merasa tidak puas atas ketetapan pajak dimaksud, maka WP dapat
mengajukan upaya hukum dengan nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP,
upaya hukum keberatan diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak, yaitu ke Kantor
Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tempat di
mana WP terdaftar.
Berbicara soal upaya
hukum keberatan WP, bahwa upaya hukum yang dilakukan masih berada dalam
lingkungan lembaga yang sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena
lembaga yang menyelesaikan sengketa antara WP dengan fiskus masih dilakukan
oleh lembaga yang sama, menurut Prof. Rochmat Soemitro, penyelesaian sengketa
demikian disebut sebagai peradilan administrasi tidak murni atau peradilan
doleansi.
Untuk dapat mengajukan
upaya hukum keberatan, maka WP harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan,
yaitu:
1. Diajukan
secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia;
2. Diajukan
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan, kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur);
3. Mengemukakan
jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
rugi menurut perhitungan WP disertai alasan-alasan yang jelas;
4. Untuk
satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak.
Setelah dilakukan
proses pemeriksaan atas upaya hukum keberatan tersebut, ada 4 (empat)
kemungkinan keputusan yang dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak
yaitu: ditolak, diterima sebagian, diterima seluruhnya, dan menambah ketetapan
pajak.
UPAYA HUKUM
BANDING
Dalam pelaksanaan UU Perpajakan
dimungkinkan adanya upaya hukum dengan nama banding apabila WP tetap merasa
tidak puas atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Artinya, terhadap surat keputusan keberatan yang diterbitkan
akan menjadi dasar untuk diajukannya upaya hukum banding ke pengadilan pajak
sesuai UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Lembaga peradilan pajak pada
awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagaimana diatur dalam
Staatsblaad No. 29 Tahun 1927 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van Beroep In Belastingzaken). Selanjutnya
berdasarkan UU No. 17 Tahun 1997, lembaga ini diubah menjadi lembaga bernama
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Lalu dengan diundangkannya UU No. 14
Tahun 2002, BPSP diubah namanya menjadi pengadilan pajak.
Dalam ketentuan Pasal 1 UU
Pengadilan Pajak yang dimaksud dengan banding adalah
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila WP
tetap merasa belum puas atas keputusan keberatan yang dikeluarkan fiskus, maka
upaya hukum berikutnya adalah dengan mengajukan banding.
Seperti halnya upaya hukum
keberatan, apabila WP akan mengajukan upaya hukum banding, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Permohonan
diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia;
2. Diajukan
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan Direktur
Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang diajukan banding atau 60
(enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai mengenai keberatan kepabeanan dan cukai. Pengajuan banding 3 (tiga) bulan
tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaan pemohon banding;
3. Terhadap
1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding;
4. Mencantumkan
alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
5. Melampirkan salinan keputusan yang disbanding
dan bukti-bukti pendukung lainnya, termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak
(SPP);
6. Melunasi
50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang atas keputusan yang dibanding.
Sejak berlakunya UU No. 27 tahun
2008 tentang perubahan atas UU KUP, aspek hukum atas upaya hukum banding juga
mengalami perubahan khususnya soal utang pajak seperti halnya pada keberatan.
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5c) ditegaskan bahwa apabila WP mengajukan banding,
jumlah pajak yang belum dibayar pada saa mengajukan permohonan banding belum
merupakan utang pajak sampai dengan adanya putusan banding. Selanjutnya,
sebagai konsekuensi hukumnya adalah apabila permohonan banding ditolak atau
dikabulkan sebagian, maka WP akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (ayat 5d).
UPAYA HUKUM
GUGATAN
Yang dimaksud gugatan adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan
penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ketentuan Pasal 23 ayat
(2) UU KUP menyatakan bahwa “Gugatan” WP atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal
berikut hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak:
a. Pelaksanaan
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
b. Keputusan
yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan
pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang ebrkaitan dengan Surat
Tagihan Pajak;
d. Keputusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
Untuk dapat mengajukan gugatan, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Jangka
wktu untuk gugatan terhadap pelakasanaan penagihan pajak adalah 14 (empat
belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk gugatan
terhadap Keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan
yang digugat; jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan
jangka waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak
berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat;
3. Terhadap
1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat
Gugatan.
Gugatan diajukan oleh
pengguat, ahli waris, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai
alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan,
atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila
proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau pengampunya dalam hal penggugat
pailit.
Seandainya terhadap WP
diterbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi dan WP mengajukan permohonan
pengurangan atas sanksi tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan
Keputusan berkaitan dengan STP yang telah terbit. Apabila WP merasa tidak puas
atas keputusan yang diterbitkan, maka WP dapat mengajukan gugatan terhadap
keputusan atas STP tersebut. Keputusan inilah yang menjadi objek gugatan ke
pengadilan pajak.
UPAYA HUKUM
PENINJAUAN KEMBALI
Satu lagi upaya hukum yang dapat
dilakukan WP adalah upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).
Upaya hukum ini merupakan upaya hukum luar biasa setelah adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap atau ada hal lain yang ditentukan UU.
Sesuai ketentuan Pasal 91 UU
Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan
berdasarkan 5 (lima) alasannya, yaitu:
a. Apabila
putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila
terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan
yang berbeda;
c. Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d. Apabila
mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
e. Apabila
terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti halnya
keberatan dan banding, apabila WP mengajukan upaya hukum peninjauan kembali,
tindakan penagihan yang dilakukan jurusita pajak tetap bisa dilaksanakan,
seperti ditegaskan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bahwa permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan pajak.
PROSES
PEMERIKSAAN DI PENGADILAN PAJAK
UU Pengadilan
Pajak pada prinsipnya membedakan adanya proses pemeriksaan di pengadilan pajak,
yaitu proses pemeriksaan dengan acara biasa dan proses pemeriksaan dengan acara
tepat. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dilakukan persidangan. Dalam pemeriksaan,
harus terdapat pembuktian dan saksi yang mendukung dan yang terakhir terdapat
putusan penyelesaian sengketa pajak yang disebut sebagai putusan pengadilan
pajak, yang dapat berupa 6 (enam) macam putusan, yaitu: menolak. Mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, tidak dapat
diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dan
membatalkan.
KONTROVERSI
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Ketikda
pengadilan pajak masih bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
berdasarkan UU No. 17 tahun 1997, terdapat persoalan hukum yang cukup menarik
perhatian masyarakat dan juga para ahli hukum. Hal ini terkait dengan adanya
gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak melalui lembaga PTUN berdasarkan UU
No. 5 tahun 1986.
Dalam
UU BPSP disebutkan bahwa BPSP merupakan badan peradilan pajak yang mempunyai
tugas memeriksa dan memutuskan sengketa pajak berupa banding dan terhadap
keputusan pejabat yang berwenang, yaitu keputusan keberatan dan gugatan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan pajak.
dengan demikian, pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum
terakhir bagi pembayaran pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan
Umum atau PTUN.
Kedudukan
kedua lembaga hukum tersebut adalah sama akrena dibentuk berdasarkan UU. Untuk
menghindari konflik hukum kelembagaan yang timbul, maka dua asas hukum berikut
dapat menjadi acuan untuk menyelesaikannya, asas hukum tersebut adalah,
pertama, ketentuan yang bersifat khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat
umum (lex specialis derogate lex
generalis), dan kedua, ketentuan yang lahir terakhir mengalahkan ketentuan
yang lahir terlebih dahulu (lex
posteriori derogate lex anteriori).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar