Selasa, 10 Juni 2014

Sengketa Pajak

PENGERTIAN SENGKETA PAJAK
Dalam menjalankan kegiatan usaha, para pengusaha (Wajib Pajak) tentu diawasi oleh pemerintah (fiskus) dalam rangka pemeriksaaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, WP sering merasa tidak puas atas pelaksanaan undang-undang yang dilaksanakan oleh fiskus kurang memuaskan. Terhadap hal demikian, undang-undang perpajakan itu sendiri upaya menegaskan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP untuk menyelesaikan sengketa pajak yang timbul.
Sebagai produk akhir  dari pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar  (Surat Ketetapn Pajak Kurang Bayar-SKPKB- atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan-SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar- SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang dimaksud dengan Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan surat paksa.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan WP adalah keberatan, banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke DIrektorat Jenderal Pajak. sementara itu, upaya hukum banding dan gugatan diajukan ke pengadilan pajak. khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung.

UPAYA HUKUM KEBERATAN
Ketika WP memperoleh suatu Surat Ketetapan Pajak dan merasa tidak puas atas ketetapan pajak dimaksud, maka WP dapat mengajukan upaya hukum dengan nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP, upaya hukum keberatan diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak, yaitu ke Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tempat di mana WP terdaftar.
Berbicara soal upaya hukum keberatan WP, bahwa upaya hukum yang dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang sama yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena lembaga yang menyelesaikan sengketa antara WP dengan fiskus masih dilakukan oleh lembaga yang sama, menurut Prof. Rochmat Soemitro, penyelesaian sengketa demikian disebut sebagai peradilan administrasi tidak murni atau peradilan doleansi.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka WP harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, yaitu:
1.    Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia;
2.    Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur);
3.    Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan WP disertai alasan-alasan yang jelas;
4.    Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau pemotongan/pemungutan pajak.
Setelah dilakukan proses pemeriksaan atas upaya hukum keberatan tersebut, ada 4 (empat) kemungkinan keputusan yang dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak yaitu: ditolak, diterima sebagian, diterima seluruhnya, dan menambah ketetapan pajak.

UPAYA HUKUM BANDING
Dalam pelaksanaan UU Perpajakan dimungkinkan adanya upaya hukum dengan nama banding apabila WP tetap merasa tidak puas atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Artinya, terhadap surat keputusan keberatan yang diterbitkan akan menjadi dasar untuk diajukannya upaya hukum banding ke pengadilan pajak sesuai UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Lembaga peradilan pajak pada awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 29 Tahun 1927 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van Beroep In Belastingzaken). Selanjutnya berdasarkan UU No. 17 Tahun 1997, lembaga ini diubah menjadi lembaga bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Lalu dengan diundangkannya UU No. 14 Tahun 2002, BPSP diubah namanya menjadi pengadilan pajak.
Dalam ketentuan Pasal 1 UU Pengadilan Pajak yang dimaksud dengan banding adalah
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila WP tetap merasa belum puas atas keputusan keberatan yang dikeluarkan fiskus, maka upaya hukum berikutnya adalah dengan mengajukan banding.
Seperti halnya upaya hukum keberatan, apabila WP akan mengajukan upaya hukum banding, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Permohonan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia;
2.    Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang diajukan banding atau 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai mengenai keberatan kepabeanan dan cukai. Pengajuan banding 3 (tiga) bulan tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon banding;
3.    Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) surat banding;
4.    Mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
5.     Melampirkan salinan keputusan yang disbanding dan bukti-bukti pendukung lainnya, termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak (SPP);
6.    Melunasi 50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang atas keputusan yang dibanding.
Sejak berlakunya UU No. 27 tahun 2008 tentang perubahan atas UU KUP, aspek hukum atas upaya hukum banding juga mengalami perubahan khususnya soal utang pajak seperti halnya pada keberatan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5c) ditegaskan bahwa apabila WP mengajukan banding, jumlah pajak yang belum dibayar pada saa mengajukan permohonan banding belum merupakan utang pajak sampai dengan adanya putusan banding. Selanjutnya, sebagai konsekuensi hukumnya adalah apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka WP akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (ayat 5d).

UPAYA HUKUM GUGATAN
Yang dimaksud gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa “Gugatan” WP atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal berikut hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak:
a.    Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
b.    Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c.    Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang ebrkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;
d.   Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
Untuk dapat mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2.    Jangka wktu untuk gugatan terhadap pelakasanaan penagihan pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk gugatan terhadap Keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat; jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat;
3.    Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
Gugatan diajukan oleh pengguat, ahli waris, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau pengampunya dalam hal penggugat pailit.
Seandainya terhadap WP diterbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi dan WP mengajukan permohonan pengurangan atas sanksi tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan Keputusan berkaitan dengan STP yang telah terbit. Apabila WP merasa tidak puas atas keputusan yang diterbitkan, maka WP dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan atas STP tersebut. Keputusan inilah yang menjadi objek gugatan ke pengadilan pajak.

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI
Satu lagi upaya hukum yang dapat dilakukan WP adalah upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum ini merupakan upaya hukum luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal lain yang ditentukan UU.
Sesuai ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan 5 (lima) alasannya, yaitu:
a.    Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.    Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c.    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d.   Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e.    Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti halnya keberatan dan banding, apabila WP mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, tindakan penagihan yang dilakukan jurusita pajak tetap bisa dilaksanakan, seperti ditegaskan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak.

PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN PAJAK
UU Pengadilan Pajak pada prinsipnya membedakan adanya proses pemeriksaan di pengadilan pajak, yaitu proses pemeriksaan dengan acara biasa dan proses pemeriksaan dengan acara tepat. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dilakukan persidangan. Dalam pemeriksaan, harus terdapat pembuktian dan saksi yang mendukung dan yang terakhir terdapat putusan penyelesaian sengketa pajak yang disebut sebagai putusan pengadilan pajak, yang dapat berupa 6 (enam) macam putusan, yaitu: menolak. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dan membatalkan.

KONTROVERSI PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Ketikda pengadilan pajak masih bernama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan UU No. 17 tahun 1997, terdapat persoalan hukum yang cukup menarik perhatian masyarakat dan juga para ahli hukum. Hal ini terkait dengan adanya gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak melalui lembaga PTUN berdasarkan UU No. 5 tahun 1986.
Dalam UU BPSP disebutkan bahwa BPSP merupakan badan peradilan pajak yang mempunyai tugas memeriksa dan memutuskan sengketa pajak berupa banding dan terhadap keputusan pejabat yang berwenang, yaitu keputusan keberatan dan gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan pajak. dengan demikian, pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayaran pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke Peradilan Umum atau PTUN.

Kedudukan kedua lembaga hukum tersebut adalah sama akrena dibentuk berdasarkan UU. Untuk menghindari konflik hukum kelembagaan yang timbul, maka dua asas hukum berikut dapat menjadi acuan untuk menyelesaikannya, asas hukum tersebut adalah, pertama, ketentuan yang bersifat khusus mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis), dan kedua, ketentuan yang lahir terakhir mengalahkan ketentuan yang lahir terlebih dahulu (lex posteriori derogate lex anteriori).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar